Terakhir kali aku berdiri di depanmu dengan sepolos ini kira-kira sewindu yang lalu. Kala itu aku malu melihat diriku sendiri dalam keadaan begitu polos. Aku malu melihat ketidaksempurnaanku. Rambut yang tersebar di lengan bawah, paha, dan betis. Perut yang berlemak dan berlipat. Gelambir lemak di pinggang. Warna kulit yang tidak cerah. Tapi, aku memberanikan diri menatap kamu. Aku yang menatap kembali. Pertama kutatap kedua mata yang begitu gelap dan redup. Kutelusuri setiap sentimeter wajah dengan jariku yang tidak lembut ini. Kulit wajah bekas jerawat, hidung yang agak membesar di bagian bawah seperti jambu. Bibir yang tipis di bagian atas. Dagu yang terdapat sedikit lekukan. Leher yang cukup jenjang tapi memiliki garis tanda resistensi insulin. Tulang bahu yang masih terlihat jelas. Payudara yang membulat dan kencang. Yang selalu membuatku malu untuk berjalan dengan tegak. Yang membuatku malu menjadi betina. Yang membuatku kadang jijik menjadi perempuan. Jemariku terus bergulir ke bawah. Ke perut yang tidak pernah datar. Perut yang selalu membuncit seperti anak terkena busung lapar. Mungkin di dalamnya ada cacing. Banyak cacing. Mungkin naga. Kemudian aku menyentuh vulva dan merasa tidak nyaman. Aku malu. Malu pada ketubuhanku sendiri. Cepat-cepat jemariku melewatkannya dan menyentuh paha dan bokong yang penuh dengan garis yang mencoreng di sana-sini. 

Sewindu yang lalu, aku belajar menyentuh tubuhku dan berterima kasih pada kehadirannya yang selalu setia menemani. Kuulang kembali prosesnya dari awal sambil mengucap mantra, “Terima kasih karena telah menemaniku selama ini.” Hingga air mataku mengalir, terharu. Seiwindu yang lalu aku berani menatap diriku di depan cermin dalam keadaan paling alami yang pernah aku lakukan. Tanpa polesan make up. Tanpa perlindungan sehelai kain pun. Aku belajar menerima diriku apa adanya. Aku yang telah menahan beban sedemikian rupa selama berpuluh tahun. Aku yang berhak dicintai apa adanya. Aku yang berhak diterima tanpa syarat. Dan siapa yang paling mungkin melakukan itu semua? Tentu saja aku. Aku adalah orang pertama yang harus melakukannya. Menerima. Mencintai. Menyayangi. 

Kini, aku berdiri kembali di depan cermin. Menatap ketelanjanganku yang berbeda. Dua puluh kilogram sudah berat badanku bertambah. Lemak menggelambir di sisi manapun aku melihat. Depan, belakang, kiri, dan kanan. Kedua sisi pipiku tumpah ruah. Rambut masih menghiasi beberapa bagian tubuhku. Aku bisa apa tentang itu? Terlalu mahal untuk menghilangkannya dengan proses penghilangan menggunakan laser. Tapi, yang berbeda bukan hanya soal bertambahnya berat badanku. Mataku… keduanya kembali bersinar. Cokelatnya di kedua bola mata ini nampak lebih terang. Bibirku, tersungging lebih manis. Garis bibirku lebih mudah tertarik ke atas. Ah, aku hampir lupa akan garis-garis yang menghiasi pinggiran kedua mataku. Yang terlihat jelas ketika aku tersenyum atau tertawa. Seperti saat ini. Aku terlihat lebih bahagia daripada sewindu lalu. Meskipun sebenarnya aku galau setengah mati, tapi aku merasa lebih lapang. Merasa lebih tenang. 

Aku kembali meraba seluruh tubuhku dengan jari yang kasar ini secara perlahan. Kening, pipi, hidung, dagu, leher, bahu, lengan, tangan, dada, payudara, perut, pinggang, pinggul, paha, kemaluan, bokong, dan betis. Tubuhku berubah banyak. Tapi, ia tetap setia menemani. Ia tetap berjuang. Ia tetap layak disayang dan dicintai. Diterima apa adanya. Dan bila pun tak ada yang mau melakukan semua itu, aku sudah cukup. Aku tetap cukup. Cermin ini menjadi saksi betapa aku sempurna dengan segala ketidaksempurnaanku. Aku mencintaimu. 

Leave a comment