Pertama kali saya melihat judul buku ini adalah ketika ia baru diterbitkan. Judulnya sebenarnya menarik perhatian.”Perempuan (bukan) Sumber Fitnah!”, judul yang seksi sekali menurut saya. Namun, karena satu dan lain hal, saya merasa tidak perlu membeli buku ini, tidak merasa perlu untuk menyelami isinya. Salah satu pikiran saya saat itu, ah ini kan mencari pembenaran saja. Paling hanya akrobat pikir. Itu terjadi kira-kira di penghujung 2021.

Di tahun 2022, saya melihat buku kedua dari seri ini, “Perempuan (bukan) Makhluk Domestik,” dan sekali lagi pikiran saya tergelitik untuk membeli dan membaca buku ini. Hati saya tergerak, penasaran. Apa sih yang dibahas? Akhirnya, saya membeli kedua buku, yang untungnya tersedia di Toko Buku Akal Buku.Tadinya saya berencana akan membaca kedua buku ini setelah tahun berganti, tapi seminggu menjelang pergantian tahun, saya lagi-lagi tergerak untuk membuka buku pertama, menyelesaikannya dalam dua hari, lalu melanjutkan ke buku kedua. Dan hati serta pikiran saya tersentuh sekali setelah membaca kedua buku ini.

Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah!
Buku ini adalah buku pertama dari tiga buku yang direncanakan dalam seri yang membahas hadis-hadis yang berkenaan dengan perempuan dengan metode mubadalah. Karena ini adalah buku pertama, maka penulis menjelaskan terlebih dahulu apa itu metode mubadalah, mulai dari dasar pengambilan metode ini dan bagaimana metode ini digunakan. Sungguh, saya kagum sekali ada sosok yang berusaha menginterpretasikan ayat Qur’an dan hadis dengan metode lain yang tetap berpegang pada prinsip-prinsip interpretasi (cmiiw). Kemudian, setelah membahas metode mubadalah, penulis mulai membahas satu per satu hadis yang berkenaan dengan perempuan yang selama ini membuat telinga saya pribadi kepanasan setiap mendengarnya. Seperti misalnya hadis tentang perempuan hanya memiliki separuh akal dan agama, yang ternyata diinterpretasikan dengan tidak tepat karena tidak melihat konteks saat ucapan itu diucapkan. Atau tentang hadis bahwa perempuan adalah sumber kesialan dan perempuan membatalkan shalat termasuk kritik Aisyah r.a terhadap hadis tersebut dan bagaimana metode mubadalah melihatnya.

Bagian lain yang juga menarik adalah tentang khitan pada perempuan dan bagaimana seharusnya kita melihat isu ini (karena banyak yang menganggap itu adalah keharusan). Atau bagian akhir dari buku ini yang membahas hadis-hadis tentang relasi suami-istri dalam suatu pernikahan, di mana hadis yang muncul seringkali menekankan pada kepatuhan istri, dan seolah membebaskan suami dari hal yang sama. Padahal, bila dilihat dengan metode mubadalah, hadis-hadis ini harus dibaca dalam konteks kesalingan. Sungguh suatu hal yang membuat dada saya terasa lapang saat membacanya.

Memang ada masalah yang cukup kontroversial dan pasti ditentang oleh ulama tradisional, seperti misalnya tentang bolehkah perempuan menjadi imam shalat. Meskipun ada hadis yang menyatakan terjadinya peristiwa itu, namun penulis juga mengakui bahwa nyaris semua ulama tetap berpegang pada perempuan tidak boleh menjadi imam bila ada laki-laki. Tapi, tidak apa. Ini menjadi hal yang tentu saja boleh kita ketahui bahwa ada pendapat seperti ini dan ada pendapat yang lain.

Perempuan (bukan) Makhluk Domestik
Di buku keduanya ini, penulis membahas hadis-hadis pernikahan dan pengasuhan, masih dengan menggunakan metode mubadalah. Misalnya membahas hadis yang mengatakan bahwa menikah itu separuh agama. Ternyata yang dimaksud itu bukan seperti sesederhana yang kita pahami selama ini. Ternyata hadis ini bicara tentang komitmen. Agak mindblowing untuk saya. Penulis juga mengingatkan kembali lima pilar pernikahan yang harus menjadi fondasi dalam berumah tangga, yaitu : (1) komitmen pada ikatan yang kukuh sebagai amanah Allah Swt., (2) prinsip berpasangan dan kesalingan, (3) perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan, (4) saling memperlakukan dengan baik,dan (5)kebiasaan saling berembuk bersama. Selain itu dibahas juga soal kebolehan perempuan mencari nafkah, perempuan beraktivitas di ruang publik, dan yang terakhir adalah bagaimana tuntunan bagi orangtua berlaku kepada anak.

Kedua buku ini berhasil membuka pikiran dan hati saya bahwa dalam Islam selalu terjadi proses interpretasi dan reinterpretasi, selalu ada perkembangan metode-metode dalam menginterpretasikan teks-teks yang turun berabad-abad yang lalu. Selama ini yang sampai di telinga ini hanyalah pemahaman tradisional yang sering sekali sangat keras, saklek, terlalu tekstual tanpa membahas konteks atau bahkan relevansi dengan kondisi saat ini. Dan itu membuat saya jadi mempertanyakan di sisi mananya rahmat agama ini bila narasinya sangat keras? Di sisi mana rahmat agama ini bila ia sangat longgar pada satu jenis kelamin dan keras pada jenis kelamin lainnya. Namun, metode mubadalah dan pembahasan hadis menggunakan metode tersebut dalam kedua buku ini memberikan angin segar, sepercik air menyejukkan. Ternyata ada cara lain, ternyata selama ini ada pendapat lain, ternyata ini soal kita mau melihat secara jernih atau tidak, mau melihat secara berimbang atau tidak.

Saya sangat menyarankan teman-teman untuk membeli buku ini dan membacanya lalu menjadikannya bahan berdiskusi. Mudah-mudahan dengan hati yang lapang dan pikiran yang terbuka, kita bisa menyepakati, pada akhirnya, bahwa Islam hadir dengan semangat kesetaraan bagi setiap umatnya.

Terima kasih.

Leave a comment