Photo by Andrea Piacquadio: https://www.pexels.com/photo/woman-in-white-t-shirt-holding-smartphone-in-front-of-laptop-914931/

Barangkali Tuhan memang punya begitu banyak alternatif jalan yang harus ditempuh oleh makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan bekal kesadaran, seharusnya manusia mampu memilih jalan-jalan tertentu dalam hidupnya. Dan kadang jalan itu membentuk suatu pola. Pola yang dibentuk di alam bawah sadar. Begitu pun tentang suatu hal yang bernama perjumpaan. Setidaknya demikian dalam hidup saya.

Nyaris sebagian besar perjumpaan yang saya alami dalam hidup berawal dari dunia maya. Sejak pertama kali mengenal internet, saya menemukan kenyamana pada ketiadaan sosok fisik dalam interaksi. Hanya ada kata, dan ribuan kata, tanpa harus diawali dengan mematut dan memantaskan diri di depan cermin. Setidaknya, kalaupun ada cermin, itu adalah cermin yang memantulkan kejujuran dalam diri yang akan memantulkan bayangan kita yang terwujud dalam ribuan kata yang berpindah di antara layar. Dan saya nyaman dengan interaksi yang seperti itu. 

Saya selalu canggung bila harus berinteraksi secara langsung. Sejak remaja, saya selalu merasa bak upik abu. Bukan bagian disuruh-suruh, tapi penuh jelaga menempel di permukaan kulit. Saya tak masuk standar kecantikan umum. Suara  saya terlalu lantang. Kulit terlalu hitam dan kusam. Saya terlalu tomboy. Saya merasa diri ini tak ada menarik-menariknya sama sekali bagi orang asing untuk berkenalan dan berbincang dengan saya. 

Hingga akhirnya saya bertemu dengan dunia maya. Dunia yang meberikan kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan siapa saja tanpa perlu mengkhawatirkan akan diewat karena tampilan fisik semata. Karena dunia nyata memang sekejam itu. Setidakny melalui dunia maya, saya dapat membantun interaksi yang kokoh dan dinilai sebagai diri apa adanya. Saya adalah semesta yang utuh yang layak untuk dikenali dan dijelajahi. 

Hal ini berlangsung terus menerus sejak awal dunia maya hadir dalam hidup saya hingga kini. Meskipun perkembangan media sosial saat ini membuat fisik saya bisa dinilai melalui gambar diri yang kadang saya unggah, tapi setidaknya kata-kata di layar menjadi senjata andalan saya. Saya elbih nyaman memulai perjumpaan melalui serangkaian kata. Ada dimensi lain yang bisa saya selami. Ada jeda yang bisa diambil sebelum bereaksi. Ada periksa yang bisa dilakukan sebelum membalas dengan baik. Dan saya tidak perlu terbebani dengan kehadiran fisik.

Setelah bertukar kata dengan lncah, pertemuan menjadi sesuatu yang indah. Paling tidak seharusnya begitu setelah keduanya saling memeriksa isi kepala, Setidaknya saya merasa dapat dihargai sedemikian rupa bisa sudah menumpahkan isi kepala. Masih begitu hingga hari ini. Kata-kata menjadi senjata andalan saya. Menjadi pelindung saya. Menjadi pola dari jalan yang pernah dan mungkin akan terus saya pilih. 

Leave a comment