Dua hari yang lalu, bersamaan dengan kabar serangan teroris di beberapa negara, kita juga mendapatkan kabar yang menggembirakan. Mahkamah Konstitusi US memutuskan bahwa pernikahan homoseksual boleh dilakukan di seluruh negara bagian di USA. Buat saya, kabar ini menggembirakan. Sebenarnya saya sendiri masih conflicted dengan persoalan LGBT, karena agama yang saya anut tidak mengizinkan seseorang menjadi homoseksual apalagi mengubah jenis kelamin. Namun di sisi lain saya juga bertanya-tanya, kalau memang tidak diperbolehkan, mengapa juga Tuhan menciptakan manusia yang sama sekali tidak bisa tertarik pada lawan jenis? Diusahakan bagaimanapun juga, dia tetap tidak bisa tertarik dengan lawan jenisnya. Begitupun dengan mereka yang transgender/transeksual. Diusahakan bagaimanapun juga, mereka tidak pernah bisa mengerti mengapa mereka lahir dengan memiliki jenis kelamin yang tidak sesuai dengan jiwanya. Itulah mengapa saya bilang di awal, saya conflicted dengan masalah LGBT ini.

 Tapi, terlepas dari pandangan  (nyaris) semua agama tentang LGBT, mereka juga memiliki hak-hak dasar sebagai warga negara, salah satunya adalah dalam hal pernikahan. Di negara apapun, dalam kepercayaan apapun, pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral dan menjadi tujuan akhir yang penting dalam satu hubungan. Kaum homoseksual pun memilik pandangan yang sama. Tidak mungkin mereka berjuang sedemikian rupa agar pernikahan homoseksual disahkan di negaranya kalau mereka tidak merasa pernikahan itu penting. Kalau tidak penting, mereka cukup hidup bersama saja. Tapi tidak. Mereka sama seperti kita yang heteroseksual, menganggap lembaga pernikahan itu penting dan sakral. Untuk itu negara harus menjamin tiap warganya untuk mendapatkan hak mereka, salah satunya dalam hal pernikahan. Pernikahan yang diakui oleh negara bukan hanya tentang legalitas hubungan antara dua manusia tapi juga (cmiiw) terjaminnya hak warga negara dalam lembaga pernikahan (harta gono-gini, harta waris, perlindungan bila terjadi kekerasan, dsb). Dalam kajian same-sex marriage ini, negara harus terpisah dari agama. Karena yang harus dipikirkan adalah kesejahteraan warga negaranya. Maka saya menghargai keputusan MK USA yang melegalkan pernikahan homoseksual di seluruh negara bagian di negara itu. Rakyat Amerika patut bangga pada pemerintahnya (kecuali yang bigot) dengan keputusan ini. All marriages are equal now.

 Perjuangan masih panjang bagi kaum LGBT di USA, karena akan banyak pertentangan dan usaha-usaha untuk membatalkan keputusan tersebut, belum lagi dalam aspek lainnya. Tapi setidaknya mereka bisa bernapas lega sesaat. Mereka yang ingin menikah, bisa melakukannya sekarang. Mereka yang telah menunggu bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun malah, bisa terikat dengan pasangannya secara sah di mata hukum.

Untuk Indonesia, saya tidak berharap muluk-muluk. Ketimbang tentang melegalkan pernikahan sesama jenis, saya masih menuntut pemerintah untuk menaikkan usia minimal pernikahan dari 16 tahun menjadi 18 tahun (untuk perempuan) dan 21 tahun untuk laki-laki. Itu saja dulu.

 Love wins!

ps : I love the rainbow on the top of my WP dashboard 😉

3 thoughts on “Love wins (28/30)

  1. Menggembirakan?

    Ya, terutama bagi kaum LGBT. Tapi bagiku, dan mungkin sejumlah yang lainnya, ini memiliki efek yang tak baik.

    Kita memang bisa memandang peristiwa ini dengan dua cara:
    – dari sudut pandang agama (dan adat) yang hampir semuanya sepakat menolak.
    – dari sudut pandang yang cukup liberal untuk bisa terlepas sejenak dari ikatan agama dan adat atau pranata yang berlaku di sekitar kita.

    Dari sudut pandang agama, dan adat, jelas akan bertentangan, aku setidaknya, dengan peristiwa ini. Ya, memang lokasi kejadiannya bukan di Indonesia. Dan Indonesia mungkin akan butuh waktu lama untuk bisa sampai ke tahapan yang membuat bendera pelangi kaum LGBT berkibar ceria bahkan hingga ke beranda-beranda Facebook itu. Dan hal ini jelas sulit untuk tawar-menawar. Agama bukan lembaga konstitusi, walau hampir serupa, untuk bisa dilobi kembali dengan mudah.

    Agama, dalam hal ini agama kita Islam, bukannya tidak mengizinkan seseorang menjalani kehidupan sebagai LGBT. Meski dalam hal pergantian kelamin, as far as I know, Islam masih menolerir soal pergantian kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan). Ini terutama berlaku bagi mereka yang hermaprodit. Ada ulasan bagus di postingan blog ini yang membahas soal itu. Jadi tidak terlalu kaku. Meski jelas bukan penggantian sesuka hati semata karena ingin berganti.

    Nah, aku coba berpikir dari sudut pandang ke dua: yaitu sejenak mencoba lepas dari norma agama, adat dan budaya. Secara individu, aku mungkin sama sepertimu. Aku memandang itu hak mereka untuk memilih diri mereka menjadi apa. Dan bahkan jika berpandangan ke agama, aku kurang menemukan dalil kuat untuk menghukum mati mereka, jika pun ada di kalangan muslim berpandangan demikian. Aku tak setuju dengan mereka, tapi aku belum berpikir bahwa aku setuju untuk mengeliminasi total keberadaan mereka.

    Namun di sisi lain, argumen yang dipakai oleh pro LGBT ini argumen yang slippery slope adanya. Ada kawan di salah satu komentar di status facebook berkaitan dengan ini, mengutarakannya cukup lugas:

    sebenarnya agak kurang sreg juga dengan alasan ‘highest ideals of love, fidelity, . . not to be condemned to live in loneliness.’

    sebenarnya institusi pernikahan itu utamanya kan sebagai tatanan untuk melindungi hak dari anak-anak yang menjadi produk hubungan dua orang pria dan wanita. terlepas dari cinta atau enggak, beragama atau enggak. nah untuk konteks LGBT, ini jadinya semacam moot point atau void juga. maksudnya, ngapain juga?

    saya sih melihatnya gay marriage itu semacam non-issue. misalkan si A ini gay, pasangannya B. A dan B mau tinggal bersama juga nggak ada yang ngurusin. issue hak individu juga nggak diutak-atik. perlindungan anak di luar konteks, orang nggak bisa punya kok. masalah agama apalagi sudah keluar jendela lah. keuntungannya barangkali soal ekonomi dan pajak lebih murah, but what gives?

    argumennya juga slippery slope, kalau gitu mah mau diterusin ke incest juga bisa. hubungan seks kakak-adik, orangtua-anak? yeah right, love wins. tongue emotikon

    di sisi lain, memang homoseksualitas itu nggak alami. juga bukan soal genetik, karena homoseksualitas itu evolutionary disadvantage. lha nggak bisa bikin keturunan, kalaupun ada gay gene, secara alami akan sudah hilang dalam rentang evolusi. jadi, ya, memang nggak natural.

    saya sih nggak masalah dengan LGBT, pribadi sih cenderung ‘don’t ask don’t tell’. mengakui eksistensi, ya, tapi dengan legalisasi pernikahan yang notabene moot point dengan dalil kayak begitu, saya kok nggak melihat banyak gunanya.

    . . . kecuali kalau memang implikasinya untuk pasangan LGBT jadi bisa dilegalkan untuk punya hak asuh anak. in that case, WTF?

    Argumen yang dipakai dalam peristiwa kemenangan kaum LGBT di USA ini, implikasinya bisa lebih dari sekedar soal LGBT. Argumen yang terlalu klise demikian juga bisa dipakai oleh pro incest, pro pedofilia.

    Don’t believe me?

    Look at this: That was FAST: Yesterday it was gay marriage; Now look who wants “equal rights”. Yup! Itu adalah tahapan perjuangan para penggandrung seks dengan anak-anak. What’s next? Incest?

    Maka itu, sulit sekali untuk menerima argumen-argumen pro-LGBT tentang legalisasi perkawinan mereka ini. Agama mungkin kuno, dan adat mungkin harus beradaptasi dengan zaman, tapi menerima perkembangan begini, mudharatnya akan lebih merusak daripada manfaatnya.

    PS: LGBT tak melulu berkaitan dengan gen atau takdir. Faktor pergaulan juga memengaruhi, menyebar seperti virus. Dari sejak zaman Harvey Milk, perekrutan calon LGBT baru untuk menambah umat mereka sudah ada. Kalau ketemu Muda Bentara di Banda Aceh, coba tanyakan padanya, apakah dia pernah kena teror oleh kaum LGBT karena pernah menyinggung soal pola perekrutan jamaah mereka? Meski sejumlah diantara mereka mungkin baik-baik saja, dan murni karena faktor gen, bukannya tak ada predator di kalangan mereka yang sama predatornya dengan para pedo.

    Mungkin aku salah. Tapi ya itu pikiranku saat ini.

    1. Jadi kalau saya memandangnya begini :
      1. Secara saintifik, penelitian beberapa tahun terakhir yang sudah dipublikasikan mengatakan bahwa menjadi homoseksual atau transgender adalah memang terkode dalam genetik masing-masing individu. kita tidak dapat memilih mau menyukai sesama/lawan jenis atau menjadi perempuan/laki-laki (terlepas dari kelamin yang diperoleh saat lahir). Kita juga sudah tahu, homoseksual sudah lama dikeluarkan dari daftar penyakit, karena memang dia bukan penyakit.

      2. Tentang pernikahan. Sayang sekali saya tidak menyimpan kutipan dari MK US, yang intinya bilang begini : para homoseksual yang bertahun-tahun berjuang agar bisa menikah pasti berpikir sama tentang lembaga pernikahan, sama seperti kita yang heteroseksual. Maka patut diberikan hak yang sama untuk menikah.

      Nah, terkait komentar yang Abang kutip,saya kurang setuju. Saya memang membahas di tulisan tentang proteksi negara terhadap warganya dalam pernikahan. Bukan tentang anak saja (dan btw, kalau di US sana, pasangan yang menikah memiliki kesempatan untuk adopsi lebih tinggi ketimbang mereka yang tidak menikah. Dan pasangan homoseksual meskipun mereka menyadari mereka tidak bisa memiliki anak secara alami, keinginan untuk memiliki anaknya juga ada, dan mereka menempuh jalur adopsi biasanya), tapi juga tentang proteksi hal lain seperti yang saya sebutkan di tulisan. Selain tentang proteksi dari negara, ini juga tentang perasaan. Kita tahu lembaga pernikahan adalah lembaga tertinggi dalam suatu hubungan yang melibatkan perasaan cinta dan kasih pada manusia. Disahkannya hubungan itu dalam pernikahan, memberikan perasaan yang lebih bagi mereka yang melakukannya. Bahwa mereka betul diakui dan saling mengakui bahwa mereka adalah “milik” satu sama lain. Sementara hidup bersama tidak ada janji terucap (dan disaksikan dan sifatnya legal) seperti itu. Kalau memang cukup hanya hidup bersama, tidak mungkin ada pasangan yang menunggu sampai berpuluh-puluh tahun hanya agar bisa menikah. Mereka sudah hidup bersama kok, tapi mereka ingin sah di mata negara, ingin ada pengakuan itu dari negara.

      Itulah mengapa para aktivis LGBT begitu ngotot meminta negara mengakui pernikahan sesama jenis.

      3. Tentang artikel yang pedofil meminta marriage equality juga. Saya lihat websitenya, yang punya ternyata orang partai Republik. Jujur saja saya ragu, karena orang-orang dari partai itu dari dulu sangat bigot. Terlepas dari itu : katakanlah memang para pedofil meminta hak untuk boleh menikah, dalam peraturan hukum negara manapun, tidak ada ruang untuk pelaku pedofilia. Negara maju sudah memberikan batas usia minimal yang boleh untuk menikah, dan itu adalah usia yang sudah cukup dewasa. Dalam tatanan masyarakat di negara maju pun, perilaku pedofilia tidak termaafkan. Makanya, pelaku pedofilia yang masuk penjara, dijamin usianya nggak lama. Karena dia akan dibenci oleh narapidana lain. Kalau homoseksual adalah nature yang tidak bisa kita ganggu (oh, kecuali yang biseksual ya), kalau pedofilia bisa kita hentikan. Ada faktor choice di situ. Tapi, biasanya pelaku pedofilia pura-pura nggak bisa memilih.

      4. Nah ini, tentang perekrutan. Ini sifatnya lokal ya, lokal negara kita. saya memang pernah baca (dan nggak tahu artikel tersebut benar atau tidak), ada orang-orang yang lebih memilih hubungan homoseksual (dilakukan sebelum menikah), untuk menghindari risiko kehamilan. Mereka nggak mau repot tanggung jawab aja kalau hamil. Kalau artikel itu benar, pelakunya sudah pasti biseksual. Kalau artikel itu tidak benar, mereka sengaja menyudutkan kaum homoseksual. Saya sendiri nggak tahu bagaimana perilaku kaum LGBT di negara ini, tapi teman saya yang gay/lesbian tidak pernah sekalipun mengajak saya untuk menjadi gay/lesbi. Barangkali karena mereka tahu saya tidak begitu, atau ya mereka nggak naksir sama saya. Homoseksual kan bukan hanya tentang urusan berhubungan seks saja, tapi juga tentang selera. Layaknya kita yang heteroseksual, kalau kita nggak selera sama satu orang, ya nggak mungkin kita dekati. nah, kalau ternyata mereka naksirnya sama orang yang biseksual, bisa jadi orang tersebut mau saja mencoba hubungan sesama jenis. Poin ini pure dari pengalaman pribadi saya. Tapi kenyataannya nggak tahu. saya setuju sama poin terakhir Bang Alex yang mengatakan ada predator di antara kaum LGBT. Itu nggak aneh sih, karena nggak mungkin ada satu komunitas yang pure baik. Ada saja yang jahat di dalamnya.

      regards,

  2. Koreksi:

    Agama, dalam hal ini agama kita Islam, bukannya tidak mengizinkan seseorang menjalani kehidupan sebagai LGBT.

    Seharusnya:

    Agama, dalam hal ini agama kita Islam, memang tidak mengizinkan seseorang menjalani kehidupan sebagai LGBT.

Leave a reply to Muthe Cancel reply